Laut Bercerita, Novel Keluarga Berbalut Sejarah

​”Jangan terjebak pada kenangan yang membuat kalian semua tak bisa meneruskan hidup.” -Biru Laut

Laut Bercerita, kisah fiktif tentang para aktivis dari kota Jogja yang diculik tahun 1998 dan bagaimana orang-orang terdekat mereka menjalani hidup setelah kepergian yang tak jelas tersebut.

Novel ini berfokus pada satu keluarga dengan dua tokoh utama bersaudara, Biru Laut dan Asmara Jati (omong-omong, pemilihan nama yang manis), yang saling menceritakan keseharian kelam dalam masa yang berbeda.

Kisah ini dimulai dengan pemikiran Laut, mahasiswa yang merupakan aktivis sejak tahun 1991. Penulis dengan apik mampu menguraikan bagaimana karakter Laut yang pemikir namun memiliki sisi lembut, terutama jika berhubungan dengan keluarga dan pasangan.

Diceritakan pula secara cukup detail bagaimana penyiksaan yang dialami Laut selama membela hak rakyat kecil di hadapan pemerintah. Walaupun tak diceritakan secara runtut, saya tetap bisa menikmati setiap momen, baik yang menegangkan maupun hanya intermezzo.

Kemudian, bagian kedua bercerita tentang si adik Asmara Jati yang menjalani hidup setelah Laut menghilang. Pada babak ini, sisi manusiawi jelas lebih menonjol, mengingat sang tokoh kali ini adalah perempuan. Sosok Mata digambarkan tegar, meskipun hatinya terseok-seok karena harus terlihat kuat di depan kedua orangtuanya yang belum bisa menerima kepergian Laut, namun juga merasa sebagian dari jiwanya kosong sejak abang dan kekasihnya (yang juga seorang aktivis) menghilang.

Secara pribadi, saya senang (dan memang tertarik) dengan cerita yang melibatkan kisah sejarah kelam Indonesia. Novel ini memang bukan novel fiksi pertama terkait kisah 98 yang pernah saya baca. Namun saya senang dengan sudut pandang yang diambil penulis, Laela S. Chudori.

Dengan apik beliau menuliskan bagaimana perasaan Laut dan Mara yang memiliki jenis kelamin berbeda dalam menghadapi hal memilukan dalam hidup mereka.

Saat membaca bagian Laut, saya membayangkan watak Mara yang ternyata memang sesuai dengan pola pikir Mara yang tertuang dalam bagian kedua. Begitu pula sebaliknya. Saat membaca, saya tak pernah berpikir, “Laut kan lelaki, masa pemikirannya seperti ini?”

Sayangnya, ada beberapa bagian yang saya kurang sreg. Dalam beberapa bagian yang menegangkan, justru muncul intermezzo dalam bentuk flashback yang membuat rasa tegang berkurang. Saya yang awalnya membaca dengan cepat karena penasaran, menjadi slow lagi karena hal ini.

Terlepas dari selera, saya mengkategorikan novel ini sebagai novel keluarga yang diselipi sejarah besar. Hampir di setiap bab, pasti ada cerita keluarga impian yang diselipkan. Ya, memang tak bisa dipungkiri bumbu keluarga memiliki porsi yang cukup banyak, mengingat kedua tokoh utama bersaudara.

Saya senang dengan tipikal novel keluarga ini, tidak berlebihan dimana tak melulu happy ending. Tokoh bapak dan ibu yang berusaha mengingkari kenyataan dengan beranggapan anak sulung mereka pasti akan pulang adalah hal yang cukup sering ditemui dalam keseharian.

Sementara, Mara yang juga merasa kehilangan juga harus tetap tegar dan waras di tengah gempuran rasa sedih karena terlupakan. Laut sendiri, yang terkesan visioner, sudah memberikan wasiat untuk tetap menjalani hidup pada keluarga tersayangnya saat dirinya menghilang.

Saya harap, novel seperti ini akan semakin banyak bermunculan, dimana pembaca diajak mengetahui lebih dalam tentang sebuah sejarah namun tetap mendapat kesan moral positif yang akrab dengan keseharian di akhir cerita.