Sebagai jurnalis, tak jarang saya liputan ke luar kota (baru tiga kali sih….). Oleh karena itu, dalam post ini, saya akan bercerita tentang Dinas Luar Kota (DLK) ketiga dan terlama, yaitu ke Nusa Tenggara Timur (NTT) selama 5 hari (1-6 Mei 2017) dalam rangka melihat bagaimana pelayanan kesehatan di daerah perbatasan yang tengah menjadi prioritas di Era Jokowi. Bersama Kementrian Kesehatan, para media dibawa ke empat daerah: Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu, dan Malaka.
Untuk post kali ini, saya akan membahas tentang Kupang terlebih dulu, agar tak kepanjangan nanti. Selain itu, yang dibahas juga secara personal tak sekaku saat membuat artikel (karena saya juga sudah kenyang dengan materi formal hehe) dengan berbagai foto narsis 🙂
Perjalanan dimulai pada 2 Mei 2017 (hari pertama) dengan penerbangan pagi bersama dengan Ibu Menkes Nila F Moeloek. Siang hari, kami sampai di El Tari International Airport.
Kami langsung menuju ke Balai Pelayanan Kesehatan (Balpelkes) NTT untuk makan siang sejenak dan dialog sebentar. Kemudian kami meluncur ke Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kupang untuk mendengarkan kuliah umum dari Menkes. Malamnya, kami kembali ke hotel Neo Kupang untuk beristirahat dan pelepasan sembilan dokter spesialis untuk mengabdi di NTT, Hari pertama terbilang cukup padat dan sangat melelahkan.
Pada hari kelima (5 Mei 2017), kami kembali ke Kupang dan sedikit merilekskan diri dengan berkunjung ke salah satu pantai yang cukup terkenal, yaitu Pantai Kolbano. Perjalanan yang kami lalui terbilang ekstrem karena cuaca sangat mendung dan kami cukup was-was. Apalagi dengan rombongan sepuluh mobil besar (kebanyakan Avanza) yang beriringan agar tak saling pencar (walaupun mobil kelompok saya selalu ketinggalan….)
Perjalanan pun kami mulai dari Kabupaten Malaka, dimana perkirakan perjalanan memakan waktu sekitar lima jam. Namun, bila dari pusat kota Kupang, waktu yang ditempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam. Demikian menurut Kaka Fritz, driver kami selama seminggu, yang sudah bolak-balik Pantai Kolbano untuk mengantarkan turis.
Perjalanan menuju Kolbano saat itu tergolong mencekam karena cuaca langit yang sangat gelap, bahkan berkabut. Namun, bukan berarti kami tak bersenang-senang. Saat hujan mulai turun (masih gerimis), saya dan teman-teman turun sebentar di jembatan untuk berfoto.
Bahkan saat berada di daerah yang tinggi, kami berhenti sejenak untuk menikmati pantai yang membentang dari bawah. Bisa dibilang, seperti Senggigi Hill-nya Kupang. Bagus dilhat, walaupun cuaca tak bagus.
Semakin jauh, jalan semakin jelek dan langit semakin mendung gelap. Tak hanya jalan belum beraspal, bahkan kami harus melewati sungai (walau cetek). Namun, tentu saja hal tersebut membuat kami yang dalam mobil jadi bergoyang-goyang dari tingkat ringan hingga bisa terbangun kalau tertidur karena terantuk keras. Bahkan, kami sempat berhenti sebentar karena adanya kabut dimana jarak pandang tak sampai 2 meter!
Namun, perjalanan kami tak melulu mencekam kok. Selama dalam perjalanan, kami bertemu dengan anak-anak daerah sana yang senang ketika mobil kami lewat. Mereka akan berteriak-teriak heboh saat melihat kami. Untuk sesaat, kami merasakan bagaimana rasanya jadi artis yang dipanggil-panggil penggemar dari jauh hihi. Kami juga langsung melambai bersemangat ketika melihat mereka yang berada di pinggir jalan. Kebahagiaan sesederhana ketika kita bertemu orang baru.
Setelah melalui perjalanan panjang dan berkelok, kami pun sampai di tempat tujuan. Pantai Kolbano terbilang cukup unik karena beberapa hal. Pertama, pantai ini tak memiliki pasir putih layaknya pantai biasa. Anda akan menemukan batu-baru kerikil besar dengan varian warna yang didominasi pastel, seperti krem tua, coklat, maron, dan hitam terang. Tak heran bila banyak orang yang menjual atau mengambil baru-baru di sana sebagai hiasan di akurium.
Kedua, terdapat tebing cukup tinggi namun masih bisa dipanjat. Tebing memang hal biasa di daerah pantai, namun di belakang tebing yang menghadap ke pantai tersebut terdapat tiga salib besar. Kata Kaka Fritz, saat masa Paskah, warga sana berbondong-bondong menghias salib yang digambarkan sebagai tiga salib di Bukit Golgota tersebut.
Di belakang salib, ada jalan setapak kecil yang digunakan untuk menaiki tebing. Pemandangan dari tebing terbilang bagus, sayangnya mendung. Namun, tetap saja terlihat luar biasa. Suasana sunrise atau sunset di sini pasti luar biasa sekali!
Saya pribadi sangat menyarankan pantai ini. Sebetulnya masih banyak yang bisa dilihat, tapi apa daya tenaga sudah habis sehingga tak sempat ekplor lagi. Nah, bagi yang kecapaian seperti saya, bisa tuh santai-santai di bangku yang terbuat dari jerami atau kayu-kayu. Kalau tak mau kepanasan, bisa juga berteduh di gazebo yang luar, bisa beramai-ramai. Pokoknya sante kayak di pante daaaaah!